Tahu nggak? Ternyata hal yang sederhana seperti menonton film bisa menambah skill empati kita lho. Banyak ilmuwan yang telah mempelajari hubungan antara storytelling dan empati. Sebuah studi dari seorang ahli saraf bernama Paul Zak menemukan bahwa narasi dengan kisah dramatis menyebabkan peningkatan kortisol dan oksitosin. Menariknya, perubahan oksitosin memiliki korelasi positif dengan perasaan empati seseorang terhadap karakter dalam narasi dan terhadap orang yang kita anggap sangat berbeda dari diri kita sendiri.
Daftar Rekomendasi Film Untuk Belajar Empati
Sebenarnya, film apapun yang kita tonton bisa meningkatkan skill empati. Namun, film-film di bawah ini cocok untuk Kawan Sejiwa yang ingin memulai belajar memahami orang lain dari berbagai sudut pandang yang berbeda. (Warning: Akan ada spoiler pada tulisan dibawah ini).
1. Little Miss Sunshine (2006, 106 Menit)
Walaupun semua orang di Keluarga Hoover sedang dilanda masalahnya masing-masing, tetapi mereka bertekad untuk sama-sama mengantarkan anak perempuan mereka, Olive, ke final kontes kecantikan yang berlokasi di California. Karena keterbatasan uang, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan sejauh 800 mil dengan mobil van mereka. Selama di perjalanan, berbagai masalah baru bermunculan sehingga menguji batas kesabaran semua orang. Namun, hal itu malah membangun rasa kebersamaan mereka dan membuat mereka tidak patah semangat untuk terus mendukung Olive. Film ini mengajarkan kita bahwa meskipun kita pernah menghadapi kesulitan dan kegagalan, jika kita tetap mengutamakan rasa kasih sayang terhadap keluarga dan tidak mudah menyerah, kita bisa meraih keberhasilan yang sesungguhnya.
2. Flipped (2010, 90Menit)
Film ini berkisah tentang dua anak SMP yang bertetangga, Bryce dan Juli. Mereka pertama kali bertemu saat mereka masih anak-anak. Namun beberapa tahun kemudian, hubungan mereka berubah menjadi sesuatu di luar dugaan mereka. Uniknya, alur cerita film ini menggunakan dua sudut pandang Bryce dan Juli. Sehingga kita dapat memahami sikap mereka berdasarkan perbedaan jalan pikiran dan pengalaman dari dua pemeran utama ini. Dari sinilah kita dapat mengetahui bahwa kita perlu untuk memahami suatu hal dari sudut pandang yang berbeda agar hubungan dengan orang lain bisa terjalin dengan baik dan agar segala permasalahan dapat diselesaikan.
3. The Breakfast Club (1985, 123 Menit)
Mungkin nggak sih lima siswa SMA dengan image yang berbeda berteman? Kalau di hari sekolah seperti biasa, kita pasti tidak akan melihat Andrew, Brian, Claire, John, dan Allison bersama-sama dalam satu ruangan. Namun karena mereka sudah melakukan kesalahan yang melampaui batas, mereka harus menjalani hukuman pada hari Sabtu dengan berdiam diri di perpustakaan sekolah. Sifat dan latar belakang mereka sangatlah berbeda, tetapi mereka justru menjadi memahami satu sama lain setelah menyadari bahwa mereka memiliki permasalahan dengan sumber yang sama. Dari film ini, kita jadi benar-benar memahami arti dari quote “everyone you meet is fighting a battle you know nothing about.” Terkadang seseorang bisa terlihat baik-baik saja, tapi ternyata mereka sedang menghadapi masalah yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
4. A Beautiful Day in the Neighborhood (2019, 109 Menit)
Film ini bercerita tentang seorang jurnalis yang ditugaskan untuk membuat profil ikon televisi ternama, yaitu Fred Rogers. Beliau adalah seorang pencipta dan pembawa acara anak-anak di salah satu stasiun televisi Amerika Serikat. Fred yang selalu menunjukkan kebaikan dan rasa empati dalam proses wawancara dan kehidupan sehari-harinya, justru memaksa sang jurnalis untuk berdamai dengan masa lalunya yang menyakitkan. Berdasarkan film ini, kita dapat mengetahui betapa indahnya pengaruh rasa empati dan sikap baik terhadap kehidupan seseorang. Selain itu, kita juga menyadari bahwa belajar memaafkan kesalahan orang lain adalah langkah awal untuk mengobati diri dari trauma masa lalu.
5. Rain Man (1988, 133Menit)
Film yang dibintangi oleh Tom Cruise ini, akan mengubah pandangan kita terhadap orang yang menderita autisme. Dari cerita inilah digambarkan betapa pentingnya kontribusi dan kolaborasi antara keluarga dan pemerintah dalam memfasilitasi anak berkebutuhan khusus. Kurangnya edukasi kepada orang awam dan masyarakat secara umum mengenai anak berkebutuhan khusus serta perlakuan yang semestinya dilakukan dapat berpengaruh pada rendahnya kualitas hidup yang mereka dapatkan. Karena sejatinya semua manusia berhak untuk mendapatkan kesejahteraan yang sama terlepas dari keterbatasan atau keluarbisaann mereka.
6. Joker (2019, 122 Menit)
Pada film ini, cerita difokuskan pada bagaimana proses seseorang bernama Arthur menjadi karakter Joker itu sendiri. Arthur yang sedang kesulitan menghadapi penyakit mentalnya sayangnya harus menghadapi kesulitan pula dalam mendapatkan support system dalam hidupnya. Selain itu, orang di sekitarnya juga tidak memiliki rasa empati dan bahkan cenderung bersikap buruk kepada Arthur. Hal ini menyebabkan Arthur berusaha untuk meluapkan emosinya dan menarik perhatian orang lain dengan cara yang sangat tidak terduga. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat memahami betapa besarnya pengaruh dari tidak adanya ketersediaan bantuan untuk seseorang yang sedang atau telah mengalami penyakit mental pada proses decision-making orang tersebut.
7. Still Alice (2014, 101 Menit)
Kebanyakan orang dengan Alzheimer memiliki gejala yang muncul secara jelas pada usia pertengahan 60-an atau lebih. Namun tidak untuk Alice, seorang profesor yang masih berusia 50 tahun. Film ini tidak hanya bercerita tentang perjuangan Alice menghadapi penyakitnya. Namun juga memberikan sudut pandang dari keluarganya yang kesulitan dalam menerima perubahan kondisi Alice dan memberi dukungan secara penuh untuk membantu perawatannya. Melalui film ini kita bisa mengetahui bagaimana Alice dan keluarganya menyesuaikan hidup mereka dengan penyakit Alice.
8. Amour (2012, 127 Menit)
Ketika uang dan waktu tidak lagi menjadi masalah, fisik malah menjadi penghalang. Begitulah gambaran kehidupan pada usia lanjut yang mempunyai tantangannya tersendiri. Film berbahasa prancis ini menceritakan tentang Georges dan Anne, sepasang suami-istri usia lanjut dan kehidupan mereka setelah menjadi pensiunan guru musik. Hubungan pernikahan mereka menghadapi tantangan terbesarnya ketika Anne mengalami serangan stroke. Walaupun Georges juga sudah lemah, tetapi karena rasa cinta yang beliau miliki kepada istrinya membuat dirinya bersikeras untuk tetap merawat Anne dirumah. Namun, Georges mempunyai caranya sendiri untuk menepati janji kepada istrinya agak tidak kembali ke rumah sakit lagi. Untuk kaum muda bisa banyak belajar dari film ini. Karena dari cerita inilah kita bisa mengetahui bahwa pernikahan itu bukan hanya tentang membuat memori-memori indah dan membangun rumah tangga bersama-sama, tetapi juga bagaimana caranya untuk tetap ada untuk satu sama lain disaat merasa sakit dan lemah.
Dari film-film di atas, bisa disimpulkan bahwa kita bisa belajar melatih empati dari topik yang beragam. Tidak perlu dari film yang hanya menyinggung kesehatan mental saja, tetapi juga bisa dari film apapun dengan cerita yang bertolak belakang dengan kehidupan kita atau sisi kehidupan lain yang belum pernah terbayangkan sebelumnya oleh kita.
Wah ternyata film bukan sekedar hiburan atau pelarian dari rutinitas saja ya, tetapi juga bisa jadi media untuk belajar memahami orang lain. Apakah Kawan Sejiwa punya rekomendasi film lainnya? Feel free to share, ya guys!
“The purpose of civilization and growth is to be able to reach out and empathize a little bit with other people. For me, the movies are like a machine that generates empathy. It lets you understand a little bit more about different hopes, aspirations, dreams and fears.”
– Roger Ebert
Penulis : Rara Purwandari
Referensi :
- Finke, Christopher. 2015, October 21. Watching movies may help you build empathy. YES! Magazine. Retrieved from https://www.pri.org/stories/2015-10-21/watching-movies-may-help-you-build-empathy.
- Guarisco and Freeman. (2015). The Wonder of Empathy: Using Palacio’s Novel to Teach Perspective Taking. The ALAN Review, Volume 43 Number 1. Retrieved from https://scholar.lib.vt.edu/ejournals/ALAN/v43n1/guarisco.html.
- Vezzali, Stathi, Giovannini, Capozza, and Trifiletti. (2014). The greatest magic of Harry Potter: Reducing prejudice. Journal of Applied Social Psychology, Volume 45 Issue 2. https://doi.org/10.1111/jasp.12279.
- Zak, Paul J. (2015). Why Inspiring Stories Make Us React: The Neuroscience of Narrative. Cerebrum (Jan-Feb) 2015;1–13. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4445577/.